Pages

» »Unlabelled » Ontologi Kecantikan

By: Unknown Posted date: 01.40 Comments: 0
Oleh: Azis Anwar Fachrudin

Tentang apa itu “cantik”, sesungguhnya bukan hal yang mudah didefinisikan, dan karena itu memicu munculnya beragam pendapat dalam filsafat estetika, filsafat yang mengkaji tentang apa itu yang “indah”. Pelbagai pendapat itu, dengan agak disimplifikasi, bisa dirangkum dalam dua aliran besar, dua aliran yang menjadi klasifikasi esensial di hampir semua cabang filsafat, yakni mazhab objektivis dan mazhab subjektivis. 

Bagi kaum objektivis, tentulah ada sesuatu yang objektif yang cantik di dalam dirinya sendiri. Ada “sesuatu” yang cantik sebagaimana adanya dia cantik (“cantik” as it is; “cantik” an sich). Kecantikan ini ada dengan sendirinya bahkan sekalipun tak ada orang yang memandangnya. Dia yang cantik itu pada hakikatnya tetap cantik sekalipun lampu sedang mati dan orang-orang tak bisa melihatnya; dia cantik bahkan walau semua orang sedunia buta. Adanya mata yang memandang bukanlah prasyarat bagi adanya kecantikan. Dengan kata lain, kecantikan ada secara independen.
Ontologi Kecantikan
Bagi kaum objektivis, cantik adalah sesuatu yang definitif—dalam pengertian ia punya batasan tertentu—yang kalaupun tak bisa dijelaskan secara kognitif, ia bisa dirasakan secara inderawi. Bagi kaum objektivis, cantik ialah suatu “formedness”, keterbentukan, yang mempunyai ukuran, kadar, rasio. Paras yang cantik bagi kaum objektivis ialah paras yang memiliki struktur bibir, pipi, hidung, mata, dan anggota wajah lain sedemikian rupa sehingga gabungan dari semua itu membentuk sesuatu yang patut disebut “cantik”. Dalam kerangka ini, esensi kecantikan adalah suatu kombinasi, dan karenanya mesti dilihat sebagai sesuatu yang menyeluruh, as a whole, sehingga jika satu saja bagian dari kombinasi itu geser dari proporsi yang semestinya, kecantikanya hilang, atau setidaknya kadar kecantikannya berkurang.

Oleh sebab kecantikan adalah kombinasi struktural suatu paras, dan dengan demikian ia bisa diukur, maka bagi kaum objektivis kecantikan bisa diperbandingkan. Dalam kerangka ini, kecantikan punya kriteria keindahan yang bisa dinilai belaka sebagaimana aspek estetis kesenian lain, seperti lukisan atau musik misalnya. Lagu yang indah pada esensinya adalah suatu kombinasi nada-nada tertentu dan, sebagaimana kecantikan dan struktur paras, kalau ada satu nada yang meleset dari proporsi yang semestinya, lagu itu jadi lagu yang buruk, lagu yang tak enak didengar. Jadi, sebagimana lagu yang dinilai dari enak-tidaknya ia didengar, definisi minimal kecantikan adalah paras yang nyaman dipandang, seuatu yang pleasing, sedap di mata, yang para pemuda abad 21 di Indonesia sering menyebutnya “bening”.

Karena esensi cantik terperikan dalam keindahan kombinasi dan proporsi paras, bagi kaum objektivis istilah “cantik natural” adalah kategori yang valid. Lebih dari hal itu, kaum objektivis pun bepandangan ada sesuatu yang “cantik absolut”, ayu secara mutlak. Dalam kadar yang ekstrem, dan mungkin politis, kaum objektivis bisa mengklaim universalitas suatu kecantikan sekalipun ada satu-dua orang keberatan. Bagi kaum objektivis ekstrim, mau diakui atau tidak, kecantikan adalah “fakta”, bukan persepsi; dia “hukum”, bukan pendapat.

Karena pandangan objektivis yang demikian itu, maka kecantikan bisa dikompetisikan (Miss World, misalnya). Bisa juga dikomersilkan, sehingga muncul bisnis kecantikan—dan di lingkungan yang tergila-gila pada kecantikan, bisnis make-up dan asesoris pakaian tumbuh subur. Paradigma keterukuran (measurability) kecantikan sebagai sesuatu yang objektif, yang merembesi lingkungan materialis, kadang sampai merasuk ke ruang-ruang yang terandaikan mempersepsi hal-hal yang material sebagai tipu-daya duniawi: Dalam acara-acara kegamaan di televisi, host atau pembawa acaranya rata-rata diharuskan cantik secara empiris, dan sesekali kamera mencuri-curi pandang ke peserta di bangku penonton yang berwajah ayu. Dalam kadar yang ekstrem, kriteria kecantikan ini bahkan membawa pada sikap yang cenderung rasis karena, sebagaimana orang tak bisa memilih ia lahir dari bapak-ibu dari etnis mana, seseorang lahir tak bisa menginginkan ia nanti berwajah seperti apa. Sikap yang cenderung rasis ini tak jarang tercermin dalam reaksi sebagian pemuda: Hanya dengan bikin status “lagi laper nih” di medsos, akun perempuan cantik bisa mendapat banyak like dan komentar; juga ketika terjadi kecelakan ringan di jalan, dan yang salah adalah si perempuan, seorang pemuda bisa tak jadi marah karena kecantikan perempuan itu memecah konsentrasi (“wajahmu mengalihkan duniaku”, kata sebuah lagu).

Pun tak jarang, karena terpapar pandangan yang cenderung rasis itu, seorang pemuda menjustifikasi ketakjubannya pada suatu kecantikan dengan istilah keagamaan, yakni kecantikan sebagai “manifestasi jamaliyyah Tuhan di muka bumi”, suatu pandangan yang berimplikasi bahwa mereka yang tertakdir tak mendapat paras cantik kurang mendapat kasih Tuhan; dan Tuhan tidak adil karena jamaliyyah-Nya tak dianugerahkan secara merata ke semua perempuan. Hal yang terakhir ini, barangkali terdengar preachy dan moralis; tak ada relevansinya dengan benar/tidaknya proposisi cantik itu hal yang objektif/subjektif. Namun demikian, dalam kerangka pikir bahwa yang benar/salah tak bisa dilepaskan dari yang baik/buruk (seperti dalam relasi interdependen “kebenaran” [truth] dan “kuasa” [power]), soal terakhir ini relevan. Dalam hal yang terakhir ini pula mazhab subjektivis dalam memandang kecantikan menemukan signifikansinya.

Pandangan kaum subjektivis pada esensinya terefleksi dalam pepatah yang cukup terkenal itu, yakni “beauty is in the eye of the beholder”, kecantikan (atau lebih tepatnya, “keindahan”) ada dalam mata yang memandang. Pepatah ini berlaku secara literal: kecantikan memang ada di mata. Tidak ada kecantikan di dalam dirinya sendiri; kecantikan ada hanya ketika ada yang melihatnya. Dengan kata lain, kecantikan bukanlah kategori kualitas yang ada secara indenpenden. Eksistensi kecantikan adalah contingent, bergantung pada mata siapa yang memandanganya. Pendeknya, kecantikan itu relatif.

Bagi kaum subjektivis, istilah “cantik natural” tidak valid, sebab kalaupun ada kriteria kecantikan ia selalu merupakan hal yang dibentuk oleh budaya, yang merupakan buatan manusia (human-made), bukan suatu yang terberi, dan karena itu tidak natural—sehingga pepatah di atas bisa disyarahi menjadi “beauty is in the culturally conditioned eye of the beholder”. Dengan demikian, kecantikan ialah konstruksi, bisa oleh kultur, bisa pula oleh media, dan ia ada dalam kesepakatan yang sepenuhnya tergantung pada selera (taste) dan karena itu tak bisa dihakimi dengan nalar kognitif. 

Bagi suatu kultur—yang tampak mendominasi kini dan karenanya relasi kuasa bermain—cantik diberi kriteria seperti putih, mulus, hidung mancung, mata lebar (tapi sebagian ada yang lebih suka yang sipit, seperti mereka yang terpesona dengan cewek-cewek Asia Timur), dan lain-lain. (“Rezim” kecantikan ini kini hegemonik, hingga pemudi abad 21 menghabiskan banyak uang untuk perawatan dan asesoris kecantikan; kuku dan alisnya pun harus ikut tampil cantik [mungkin asesoris yang tak tampak, seperti celana dalam pun harus ikut cantik]; sampai-sampai terkena jerawat bagi pemudi abad 21 sudah seperti tertimpa kiamat sughra.) Kriteria putih tentulah tidak fair, atau mungkin juga tak berlaku, bagi definisi kecantikan di kultur Afrika Tengah-Selatan, dan karena itu ajang Miss World yang diasumsikan berlaku untuk seluruh dunia merupakan ketidakadilan. Bagi kaum subjektivis, kecantikan tidak bisa dilombakan karena, ya itu tadi, ia relatif dan tidak bisa dipancangkan standar universalnya.

Bagi kaum subjektivis, kombinasi fisik adalah entitas yang terpisah dari kecantikan. Struktur paras tidak identik dengan kecantikan itu sendiri: jika dilihat dengan berjarak, bentuk bibir ya begitu-begitu saja, bentuk hidung, mata, rambut ya itu-itu saja. (Lebih jauh, bentuk payudara ya kurang lebih hanya “begitu”; entah dari mana muasalnya, dalam suatu hentakan psikologis, para pemuda gampang takjub dan terseret secara magnetis olehnya—hal yang menyebabkan para pemuda abad 21 sering “gagal fokus”.) Dengan kata lain, ketika struktur paras ‘dibaca’ sebagai suatu hal material, baik sebagai kombinasi secara menyeluruh maupun bagian-bagian yang dipartisi, ia hanya “benda” biasa. Bagi kaum subjektivis, struktur fiskal suatu paras tidak memberi makna sesuatu hingga mata yang melihatnya—yang dipengaruhi oleh “fore-structures of understanding” (istilah hermeneutik Gadamerian) yang terbentuk oleh sejarah dan budaya—membuatnya punya nilai, menjadikannya terkategorikan sebagai “cantik”.

Begitulah kurang lebih perdebatan filsafat estetika antara mazhab objektivis dan subjektivis soal kecantikan secara khusus dan keindahan secara umum. Kalau ada yang bisa menengahinya, yang mungkin bisa dianggap semacam merger dari keduanya (kalau bukan malah melampaui kategorisasi biner itu), barangkali ia bisa diambil inspirasinya dari pandangan sufistik ala falsafah wujud, yang sedikit banyak terpengaruhi pemikiran Platonik, terutama mengenai distingsinya tentang “idea” dan “form”.

Dalam perspektif yang terakhir ini, kecantikan bisa subjektif dan objektif sekaligus, sebab ada dua jenis cantik: cantik-inderawi dan cantik-spiritual. Cantik-inderawi adalah subjektif: ada hanya di dalam mata, di alam inderawi, dan terkondisikan oleh sejarah dan budaya. Cantik-inderawi ini merupakan form, bentuk yang merupakan citra dari kecantikan yang lebih sejati di dunia idea, yakni cantik-spiritual yang ada secara inheren dan objektif; cantik yang memang benar ada di sana, dan dia cantik sebagaimana adanya dia cantik. Cantik-spiritual di dunia idea ini merupakan cantik yang ada secara tunggal, cantik yang tidak punya oposisi, karena dunia idea adalah tempat segala keindahan, tidak ada yang jelek. Simpelnya, dalam bahasa Inggris, kecantikan-inderawi ialah “prettiness” sedangkan kecantikan-spiritual ialah “beauty”. (Saya kurang tahu pasti, tapi dalam bahasa Arab, cantik dan indah hanya ada dalam satu kata: “jamal”.) 

Cantik-spiritual inilah yang, dalam falsafah wujud, sejatinya merupakan “tajalli”, “theophany”, atau manifestasi jamaliyyah-Nya. Tersebab Dia indah dan menyukai keindahan (“Inna-Llah jamil yuhibb al-jamal”), segala yang di alam, yang merupakan wadag atau mazhhar dari tajalli-Nya, semestinya juga indah. Segala di alam adalah rembesan dari “arketip permanen” (dunia idea ala Plato, atau al-a’yan at-tsabitah ala Ibn ‘Arabi) yang mewujud karena tersoroti “cahaya” jamaliyyah-Nya. Dalam level wujud ini, sejatinya tidak ada makhluk Tuhan yang tidak cantik; semua cantik karena merefleksikan keindahan Tuhan. Hanya saja, untuk mencapai tahap pengertian ini seseorang perlu meraih (atau tepatnya teranugerahi) momen “ketersingkapan” (kasyf) untuk menangkap jamaliyyah itu dan mampu membuka labirin-labirin materi-inderawi yang menghijabinya. Ketersingkapan ini akan terjadi ketika mata seseorang yang memandang paras-inderawi terinjeksi “cinta”. Di momen ketersingkapan ini, cantik-jelek dalam pengertiannya yang inderawi tidak lagi berlaku, karena dengan cinta yang tampak adalah keindahan, jamaliyyah-Nya.

Barangkali semacam ketersingkapan inilah yang menimpa Qais, si Majnun itu, sehingga ia tergila-gila pada Laila. Sebenarnya Laila bukan perempuan cantik secara inderawi. Tapi mengapa tidak ada yang menjadi majnun terhadap Laila seperti Qais? Karena mata orang lain bukanlah mata Qais. Bagi Qais, Laila bukan bentuk, bukan form, bukan—dalam istilah Rumi—“shurah” (rupa). Sebagaimana dinukil oleh Rumi dalam Fihi Ma Fihi, kata Qais, “Laila bagiku bagai gelas. Dari gelas itu aku teguk minumannya.” Qais bisa menembus gelas itu, dan mendapati lalu meneguk minuman di dalamnya karena dalam diri Qais ada cinta. Dan cinta, menurut Ibn ‘Arabi dalam Futuhat, adalah “syurbun bila rayy”, minum tanpa hilang haus. [Zq]

*Sumber: Catatan FB Azis Anwar Fachrudin
TAGS
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama